07 Agustus 2008

Hajimete otsukai - Mendidik anak untuk berani

Dulu, saya menggemari sebuah acara TV di channel Nihon terebi, yang berjudul ‘Hajimete otsukai’(はじめてお使い)yang kira-kira artinya pertama kali dimintai bantuan. Acara ini menggambarkan bagaimana anak-anak berumur di bawah 5 tahun untuk pertama kalinya ditugasi oleh ayah ibunya untuk melakukan sesuatu pekerjaan di luar rumah. Misalnya tugas untuk mengantarkan sepatu ayah dari rumah ke pelabuhan yang jaraknya berkilo-kilo, atau tugas membeli keperluan dapur (berbelanja), dll.

Acara ini sudah lama tidak pernah disiarkan lagi, tetapi saya masih ingat bagaimana kelucuan dan keluguan anak-anak yang ditugasi tersebut. Yang masih lekat dalam ingatan adalah seorang anak laki-laki berusia 4 tahun yang tinggal di Hokkaido, daerah paling Utara Jepang. Ayah ibunya mengelola restoran di sebuah desa. Tugasnya hari itu adalah pergi ke kota untuk membeli tahu, taoge, ikan, mie dan terong. Ibunya kelihatan cemas, tetapi si anak dengan bangganya mengatakan : “dekiru yo, okaasan ! sinpai shinaide ! (Saya bisa kok, Bu. Jangan khawatir!). Si Ibu kemudian mengulang-ulang pesanannya dan mengalungkan dompet kecil di leher si anak, lalu memintanya berhati-hati, dan bla…bla…bla…….ittekimasu ! (Pergi dulu, ya !). Itterasshai…(ya, hati-hati !).

Sepanjang perjalanan si anak tampaknya gembira sekali, sambil berjalan dia menyenandungkan lagu-lagu yang pernah didengarnya. Jarak antara rumah ke kota, kira-kira 1-2 jam berjalan kaki. Tetapi karena barangkali sering diajak jalan oleh ayah atau ibunya, si anak tampaknya tidak khawatir sama sekali akan tersesat. Melewati jembatan penyeberangan, dia sempat berhenti sejenak mengobrol dengan burung-burung gagak yang memang jumlahnya banyak di seantero Jepang.

Kameraman yang mengiringi perjalanan si anak, juga beberapa staf TV, menyamar dengan memakai topi, dan memasukkan kamera di dalam tas. Bagaimana pun keselamatan anak tetap harus diutamakan, sekalipun si anak sama sekali tidak menyadari bahkan tidak peduli dengan mereka.

Tiba di toko yang dimaksud. Karena menempuh perjalanan jauh, si anak agak lupa dengan pesanan yang harus dibeli. Sambil berputar-putar di dalam toko dia berusaha mengingat barang-barang yang ditugaskan. Dua tahu, tiga bungkus tauge, ikan A (saya lupa namanya-red), mie dan terong. Pemilik toko yang sebelumnya sudah dikabari tentang acara ini berusaha mengamati dari jauh, tetapi tidak diperbolehkan membantu. Akhirnya selesailah acara belanja. Ketika hendak membayar, si anak belum tahu nominal harga, maka semua uang yang ada di dalam dompet dia keluarkan. Pemilik toko kemudian mengembalikan kelebihan uang, membungkus barang belanjaan si anak dan berpesan : “ki o tsukete ne !” (hati-hati, ya). “Haik, arigatou gozaimashita. Sayonara !” (Ya, terima kasih banyak. Sampai jumpa!).

Belanjaan kelihatannya cukup berat untuk dibawa oleh tangan kecilnya, tetapi harus bagaimana lagi, pesan Ibu harus dilaksanakan. Melangkah beberapa meter, si anak berhenti, memperbaiki pegangan tas plastik. Perjalanan pulang agak menyulitkan karena beberapa jalan mendaki. Sesekali dia harus berhenti karena tauge yang dibelinya tercecer jatuh. Pada suatu ketika, si anak sudah tidak tahan lagi karena keberatan, dia mulai menangis sambil mengomel-ngomel : “dekinai yo ! omoi, yo!” (Jelas ngga bisa ! Berat !)

Tapi, ingatannya pada Ibunya yang berpesan bahwa mereka tidak bisa menyiapkan makanan untuk tamu jika belanjaan tidak sampai di rumah, membuatnya berhenti menangis. Tangan kecilnya mengusap air matanya dan mulai melangkah lagi. Kali ini tidak cukup daya untuk mengangkat tas yang berat itu, maka diseretnya. Alhasil, tahu dan ikan menjadi agak hancur dan berserakan di jalan. Dia mulai menangis lagi : “Mou taberarenai yo !” (Duh, ngga bisa dimakan !). Tangisannya makin menjadi tatkala dua ekor burung gagak hinggap dan mulai menggigiti remah-remah tahu. “Dame ! Dame ! Yamete !” (Ngga boleh! Ngga boleh! Berhenti!). Burung gagak terbang juga. Tapi si anak tak kunjung berhenti menangis, sebab tahu yang sedianya untuk disajikan kepada tamu, tinggal separuh. Tas yang dipakai untuk membawa belanjaan juga sudah sobek karena diseret di jalan beraspal. Tapi, tidak ada orang yang lewat yang bisa dimintai tolong.

Akhirnya, masih sambil menangis, didekapnya sisa-sisa belanjaan yang ada, berjalan terseok hingga sampai di rumah. Ibunya yang melihatnya dari balik jendela rumah dari kejauhan tak tahan, mulai menangis juga. Tapi dia cepat-cepat menghapus air matanya karena si anak sudah di depan pintu. Sambil menangis, si anak berkata, “okaasan, gomen ne ! waruku natta!” (Ibu, maaf ya. Semuanya jadi hancur !). Si Ibu sudah tidak tahan lagi, memeluk anaknya sambil berkata, “arigatou ne! yoku ganbatta !” (makasih ya, kamu sudah berusaha !).

Di akhir acara terlihat si anak makan dengan lahap masakan tahu hasil belanjaannya dan dengan bangga mendengarkan pujian dari ayah, ibu, dan neneknya. Hari ini dia sudah berhasil memberikan manfaat untuk ayah ibunya.

Saya jadi ingat ditugasi ibu berbelanja di warung. Tapi saya tidak seberani si anak yang berjalan jauh untuk membeli pesanan ibu. Warung yang saya datangi hanya beberapa meter dari rumah kami. Tapi, bagaimanapun sangat senang dan bangga ketika mulut kecil saya mengucapkan : “Saya mau beli garam 1 bungkus !” Rasanya seperti orang dewasa :D
Apalagi si anak yang sudah berjalan jauh, betapa bangganya dia ! Pasti !

Orang dewasa harus memberikan ruang dan waktu kepada anak-anak untuk mencoba hal-hal yang biasa dikerjakan orang dewasa, sekedar untuk merasakan sedikit kebanggaan bahwa : saya juga bisa !

http://murniramli.wordpress.com

06 Agustus 2008

10 Tips Menanamkan Karakter pada Anak

Mempunyai anak adalah mudah, tetapi menjadi orangtua yang baik adalah sulit sekali. Tugas orangtua yang terpenting adalah bagaimana mendidik anak menjadi manusia yang berkarakter baik. Berikut ini ada 10 tips untuk membantu anak menumbuhkembangkan karakter yang baik:

1. Letakan tugas dan kewajiban orang tua sebagai agenda nomor satu. Hal ini adalah sulit pada jaman moderen yang penuh dengan persaingan. Orang tua yang baik akan secara sadar merencanakan dan memberikan waktu yang cukup untuk tugas keayah-bundaan (parenting). Mereka meletakan agenda “pendidikan karakter/moral” anak pada prioritas tertinggi.

2. Evaluasi bagaimana anda menghabiskan jam-jam dan hari-hari dalam satu minggu. Pikirkan jumlah waktu anda bersama anak-anak anda. Rencanakan bagaimana anda dapat mengikut-sertakan mereka dalam kehidupan sosial anda, dan leburkan diri anda kedalam kehidupan mereka.

3. Jadikan diri anda contoh yang baik. Ingat, manusia belajar melalui contoh yang ada di sekitar mereka. Anda tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa anda sedang menjadi tokoh model yang sedang ditiru oleh anak-anak anda, entah itu perilaku baik ataupun buruk. Menjadi contoh yang baik, adalah pekerjaan yang terpenting yang harus anda lakukan.

4. Jadilah telinga dan mata untuk apa yang sedang mereka serap. Anak-anak ibaratnya sponges kering yang cepat menyerap air. Kebanyakan yang mereka ambil adalah berkaitan dengan nilai-nilai moral dan karakter. Buku-buku, lagu, TV, dan film secara terus-menerus memberikan pesan – entah itu yang bermoral maupun yang tidak- kepada anak-anak kita. Sebagai orang tua kita harus mengawasi semua ide atau pesan-pesan yang sedang mempengaruhi mereka.

5. Gunakan bahasa karakter. Anak-anak sulit mengembangkan pedoman moral kecuali orang tua menggunakan bahasa yang jelas dan lugas mengenai bahasa/tingkah laku baik dan buruk. Selalu terangkan kepada mereka mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.

6. Berikan hukuman dengan kasih sayang. Sekarang kata “hukuman” mempunyai reputasi buruk, sehingga banyak orang tua yang memanjakan anak dan mempunyai anak yang sulit diatur. Anak-anak memerlukan batas atau rambu-rambu. Kadang-kadang mereka melanggar batas. Hukuman yang mendidik adalah salah satu cara manusia untuk belajar. Anak-anak harus mengerti fungsi hukuman dan menyadari sumbernya bahwa hukuman adalah berasal dari cinta kasih orang tua. Namun hukuman tidak boleh diberikan secara berlebihan.

7. Belajar untuk mendengarkan anak anda. Adalah hal yang mudah untuk berkomunikasi dengan anak-anak. Salah satu hal yang terbaik yang dapat kita lakukan adalah berbicara dengan mereka secara serius, bahwa apa yang dikatakannya penting dan menarik bagi anda. Selalu beri waktu anda untuk mendengarkan mereka.

8. Terlibat dengan kehidupan sekolah mereka. Sekolah adalah bagian kehidupan penting bagi anak –anak. Pengalaman mereka di sekolah adalah seperti “sekarung” kesenangan, kesedihan, kemenangan, dan kekecewaan. Bisa tidaknya mereka menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah tersebut, akan berpengaruh besar terhadap bagaimana mereka mampu menjalankan hidupnya kelak. Membantu mereka untuk menjadi murid yang baik adalah juga membantu mereka menumbuhkan karakter yang kokoh.

9. Selalu adakan makan bersama. Sesibuk-sibuknya orang tua, sebaiknya selalu meluangkan waktu untuk makan bersama seluruh keluarga. Makan bersama adalah wahana yang baik untuk berkomunikasi, menanamkan nilai, dan moral yang baik. Tahukah anda bahwa di meja makanlah tanpa sadar anak menyerap peraturan-peraturan dan perilaku yang selayaknya dimiliki oleh manusia. Oleh karena itu pada waktu makan malam orang tua perlu mengomunikasikan segala hal yang baik untuk bekal hidup mereka.

10. Jangan mendidik karakter hanya dengan kata-kata saja. Kita mendapatkan akhlak baik melalui praktek atau kejadian dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua harus membantu anak untuk menumbuhkan perilaku moral yang baik melalui disiplin diri, kebiasaan baik, hormat dan santun, dan membantu orang lain. Fondasi dari pengembangan karakter adalah perilaku- yaitu bagaimana mendorong mereka untuk berperilaku baik.

(Disadur dari Kevin Ryan, Professsor of Education) - http://www.ihf-org.tripod.com

Karakter Bangsa

Ada sebuah ungkapan 'jumlah anak-anak hanya 25% dari total penduduk, tetapi menentukan 100% masa depan bangsa'.Itu berarti maju tidaknya sebuah bangsa sangat tergantung pada kualitas generasi mudanya. Thomas Lockana,profesor pendidikan dari Cortland University, mengungkapkan ada tanda-tanda zaman bagi kehancuran suatu bangsa yaitu : a. meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, b.penggunaan bahasa dan kata yang memburuk, c.pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan,d.meningkatnya perilaku yang merusak diri (narkoba,seks bebas, alkohol)e.semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk,f.penurunan etos kerja,g.semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru,h.rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, i.ketidak jujuran yang membudaya,j.rasa saling curiga dan kebencian diantara sesama.
Dengan adanya berita yang sering terdengar tentang kenakalan,tawuran,kriminalitas remaja, kita boleh menilai apakah bangsa kita sudah memiliki 'tanda-tanda zaman' tersebut. Jika benar adanya, apakah bangsa kita sudah dekat dengan kehancuran? Terjadinya dekadensi moral pada generasi muda adalah cerminan dari krisis karakter dari seluruh bangsa.
Seluruh manusia dilahirkan dalam keadaan suci, berakhlak baik atau buruk sangat tergantung pada bagaimana ia dididik dan dibesarkan lingkungannya (keluarga, sekolah, masyarakat). Coba bayangkan, lingkungan tempat generasi muda kita dibesarkan sedang mengalami krisis multidimensi, krisis moral yang parah (budaya KKN yang sudah mengakar, kebohongan publik, fitnah, konflik keluarga, pertikaian multietnis, agama, golongan dsb). Bagaimana kita akan menciptakan masa depan yang cerah kalau anak-anak dibesarkan dalam lingkungan seperti itu?????
Fancis Fukuyama mengatakan, bangsa yang bisa maju adalah yang mempunyai social capital, yaitu high trust society, cirinya adalah masyarakat yang individunya bisa dipercaya. High trust society adalah karakter bangsa yang nilai-nilai integritas, kerjasama, tenggang rasa, etos kerja tinggi, dan amanah (jujur dan tanggung jawab) menjadi corak perilaku kehidupan.
Permasalahan karakter bangsa adalah masalah penting yang harus ditangani kalau kita ingin mencegah bangsa ini dari kehancuran.
Tulisan ini merupakan ungkapan hati seorang pendidik ibu Ratna Megawangi,Ph.D dalam bukunya Semua Berakar Pada Karakter
PR besar bagi kita untuk merubah paradigma pendidikan kita agar tidak cognitif oriented, baik di rumah di sekolah maupun di masyarakat ....
AYO KITA BISA!!!!

05 Agustus 2008

Paradox Nilai dalam Pendidikan

Sore itu di sebuah rumah...
terdengar percakapan antara seorang bapak dengan anak laki-lakinya : 'Nak, bapak capai mau tidur dulu ya... Nanti kalo ada tamu bilang bapak tidak ada di rumah'
Suatu pagi di ruang kelas 3 ...
guru sedang mengabsen siswanya, siapa yang kemarin sholat lima waktu?
seorang anak mengangkat tangannya dan berkata "saya sholatnya cuma 3 bu guru"
bu guru berkata " lho, kamu kan sudah kelas tiga kenapa sholatnya cuma 3..
dengan spontan si anak menjawab " lha wong bapak saya aja nggak sholat ..."
bu guru : ??????
Di sebuah sekolah dasar, guru sedang dipusingkan anak didiknya yang ketangkap basah merokok....
disidanglah si anak, "berapa kali kamu merokok" kata guru, "3 kali, ada yang menjawab 5 kali ada yang menjawab 8 kali, "kenapa kamu merokok" lanjut guru, jawaban mereka beragam ada yang mengatakan saya lihat bapak saya merokok, diiklan kan bilang kalo merokok jadi lelaki sejati, yang merokok paling banyak menyatakan saya ingin mencoba merk (... bayangkan padahal ada berapa merk...), dan ungkapan kritispun muncul dari si anak, ...lha kalo dilarang kenapa dijual ...???????

Tiga kejadian diatas merupakan pelajaran berharga bagi kita yang peduli pendidikan, bahwa dalam pendidikan kita masih banyak paradox nilai (nilai yang kontraproduktif) yang disodorkan pelaku pendidikan, siapa pelaku pendidikan???
Pada dasarnya anak-anak kita menjalani pendidikannya tidak hanya di sekolah, dia tumbuh dan berkembang di rumah, sekolah dan masyarakat. Maka pendidikan yang berhasil yang kita inginkan (berkarakter/berkompetensi) akan bisa kita raih apabila tiga unsur terpadu dalam pola asuh. Saat ini paradox nilai menggejala di lingkungan kita maka bagaimana anak didik kita tidak bingung ketika disekolah diajari kejujuran, dirumah kadang dia dapati bapak/ibunya jujur, kadang tidak, di masyarakat dia lihat korupsi merajalela. Atau ajaran tentang menutup aurat di sekolah diajari, di rumah juga, di masyarakat dia lihat tontonan, iklan, majalah mengumbar aurat 'you can see my kelek/udel, bagaimana anak kita bisa utuh kepribadiannya. Atau justru di sekolah beberapa kasus ditemui guru yang melakukan kekerasan terhadap siswanya, merokok, atau tindakan tidak terpuji lainnya, padahal keteladan mutlak dituntut dari semua unsur pendidik.
Renungan berharga ini semoga menggerakkan kita semua untuk memperbaiki pendidikan tidak hanya fasilitas sekolah, tetapi semua unsur di masyarakat konsisten dengan nilai-nilai kebaikan...
Kunci semua itu adalah KETELADANAN di rumah, di sekolah dan di masyarakat...
pekerjaan luar biasa yang butuh komitmen besar bersama ...